Mewaspadai Aksi Teror dengan Zat Kimia


Hari ini, 26 Juli 2018, 6 tervonis hukuman mati terdakwa pelaku teror gas sarin di Tokyo 20 Maret 1995 dieksekusi. Eksekusi ini mengikuti eksekusi pendiri sekte kiamat Aum Shinrikyo Jepang, Shoko Asahara terdakwa dengna tuduhan yang telah dilakukan pada tanggal 6 Juli 2018. Rangkaian eksekusi ini mengingatkan kembali bahwa teror dengan senjata kimia bukanlah ilusi, melainkan ada, pernah terjadi, dan tetap menjadi potensi ancaman hingga kini bila tak diwaspadai.

Kejadian itu bermula saat 5 orang anggota sekte Aum Shinrikyo menyamar menjadi penumpang di lima gerbong kereta bawah tanah Tokyo Metro pada saat jam padat pukul 07.30 pagi. Masing masing membawa dua kantong plastik ukuran 15cm x 15cm yang dibungkus lagi dengan koran. Isinya bukan barang sembarangan, melainkan cairan beracun yang sangat mematikan: sarin (lebih dikenal dengan gas sarin). Mereka janjian untuk melancarkan aksinya di stasiun bawah tanah tersibuk bernama Kasumigaseki.

Begitu kereta tiba dan pintu terbuka, masing-masing lalu menjatuhkan kantong sarin tadi di lantai kereta. Sambil menuusuk-nusuknya dengan ujung payung yang telah diruncingi, mereka bergegas keluar kereta. Selanjutnya tercecerlah cairan sarin di lantai kereta, yang makin lama meleleh kemana-mana saat tanpa sengaja terinjak-injaknya oleh penumpang lain.  Tak ada yang sadar bahwa udara yang ada di situ, juga sepatu-sepatu yang menginjaknya telah terpapar cairan zat kimia yang amat berbahaya.

Sejam kemudian kegemparanlah yang terjadi di Tokyo. Puluhan penumpang terpapar sarin, dan mengalami sesak napas. Tak sedikit pula yang pingsan lalu tergeletak di dalam kereta. Kereta lalu dihentikan mendadak, dan semua penumpang berbegas keluar. Penumpang yang pingsang digotong keluar, namun para penggotong ternyata juga ikut pingsan. Saat korban berhasil dievakuasi keluar lalu dibawa ke rumah sakit, ternyata para medis pun tak sedikit yang pingsan. Tampaknya mereka ikut terpapar sarin. Kepanikan demi kepanikan pun susul menyusul dalam keadaan tanpa tahu pasti, apa biang dari semua itu.

Siang menjelang sore harinya baru diketahui umum bahwa telah terjadi serangan teror dengan zat kimia sarin dan telah mengakibatkan 12 orang meninggal, 1039 terluka, dan 4460 korban dibawa ke rumah sakit (laporan Monetary Institute of International Studies 2001). Jumlah korban yang cukup banyak untuk ukuran negara dengan tingkat kejahatan rendah seperti Jepang. Tak hanya itu, duniapun kaget karena aksi itu membuktikan bahwa aksi teror dengan bahan kimia benar-benar ada dan mematikan.

Mengapa serangan teror itu mengakibatkan banyak korban dalam waktu instan? Hasil investigasi menyebutkan karena lambannya mitigasi, dan hal itu itu disebabkan karena lambatnya pendeteksian akar penyebab jatuhnya korban. Baru dua jam setelah kejadian benar-benar diketahui oleh Kepolisian Tokyo Jepang, bahwa penyebab jatuhnya korban adalah cairan sarin. Sebuah deteksi yang amat lambat untuk sebuah kejadian teror besar. Bahkan setelah diketahui itupun, informasi tidak segera tersebar cepat. Tampaknya tak mudah mendeteksi bila aksi teror dilakukan dengan zat kimia. Ketidaktahuan, dan kurangnya koordinasi telah menjadi biang jatuhnya banyak korban.

Akibat hal ini, tak banyak rumah sakit diberitahu, dan parahnya salah satu kereta pembawa sarin jalur Marunouchi dibiarkan berjalan hinggap pukul 9.27 tanpa ada yang memberitahu untuk berhenti (Robyn, 2002: 12). Dampaknya sarin yang terbawa tersebar kemana-mana, memapar ke banyak orang. Di tempat lain, bahkan salah seorang petugas stasiun, karena ketidaktahuannya, membawa dengan tangan kosong kantong cairan sarin ke peron stasiun dan beberapa menit kemudian ia pun tergeletak tewas. Untung saja pelaku teror pada saat itu belum berhasil membuat alat aerosol yang secara cepat dapat menyebarkan cairan di bawah tanah. Kereta bawah tanah Metro Tokyo bagaimanapun dapat dikatakan semacam kota di bawah tanah yang tak selalu berhubungan dengan udara luar. Udara di ruang bawah tanah dimasukkan melalui mesin, dan amat rentan untuk dikontaminasi.

Waspadai teror dengan zat kimia

Pelajaran apa yang bisa dipetik bagi kita di Indonesia yang akhir-akhir ini kerap dilanda aksi teror, adalah perlunya terus menerus meningkatkan kewaspadaan dan memperkaya pengetahuan akan potensi teror dan perkebangannya. Tidak hanya bagi petugas kepolisian anti-teor, tetapi juga bagi masyarakat umum. Bahwa alat untuk meneror tidak hanya bom saja, tetapi juga dengan zat kimia. Bahkan zat kimia lebih berbahaya dan mematikan karena umumnya sulit dikenali dan memiliki efek sebar, yang mana korban akan makin bertambah selama zat kimia tidak terdeteksi dan sebaliknya. Ketidaktahuan disinyalir menjadi faktor krusial dalam kasus jatuhnya banyak korban karena teror zat kimia.

Sarin adalah gas ciptaan lima ilmuwan Jerman pada masa PD II. Zat ini tidak berbau, berwarna, dan berasa namun memiliki efek membunuh yang kuat. Dalam kadar yang rendah sekalipun, bila manusia menghirupnya maka dalam 10 menit akan mengalami sesak napas yang ujungnya kematian. Tak heran sarin telah dilarang digunakan sebagai senjata pemusnah massal oleh Konvensi Senjata Kimia Den Haag 1997. Meski demikian, tidak ada jaminan bahwa senjata ini sudah tidak akan digunakan lagi, terlebih saat ini sistem komunikasi jauh lebih canggih daripada 23 tahun yang lalu di Jepang. Diprediksi saat ini zat ini jauh lebih mudah diproduksi dan tak sedikit orang yang menguasai pembuatannya. Tidak hanya sarin, zat kimia lain yang berpotensi digunakan untuk teror seperti gas VX, gas moster, gas phosgene dan lain-lain, juga perlu diwaspadai.

Indonesia, sama dengan Jepang memiliki banyak pusat keramaian yang rentan dijadikan obyek teror. Meski Indonesia belum memilik pusat keramaian di bawah tanah sebesar dan seluas Jepang, namun lambat laun akan mengarah ke sana. Tumbuhnya pusat keramaian bawah tanah metropolis semisal di kawasan Blok M dan jalur Mass Rapid Transit bawah tanah di Jakarta menunjukkan adanya gelagat ke sana. Maka, ke depan tak bisa lagi menganggap bahwa kawasan-kawasan itu aman-aman saja. ***

by. mga

Leave a comment